Belajar dari seorang perempuan
Dalam perjalanan dari Kediri ke airport Juanda
Saya: Bi, ntar kita having lunch dulu ya sebelon ke airport
Abi: Having lunch diairport aja deh
Sayapun berpikir...hmm, tumben nih si Abi ngajakin lunch di airport. Langsung saya mengingat2 restoran atau kafe mana ya yang enak di airport Juanda. Maklum kita termasuk orang yang jarang sekali menghabiskan puluhan ribu untuk mengganjal perut di airport.
Setibanya di airport
Saya: Bi, kita makan diresto yang dibawah atau atas? Tanya saya bersemangat, maklum sudah laper berat.
Abi: Nggak dua2nya
Saya: Jadi makan dimana dong?
Abi: Ntar Abi beli nasi bungkus dikantinya supir2 taksi itu yah
Sayapun bengong...sambil sedikit cemberut karena impian duduk nyaman disebuah kafepun buyar
Sambil menunggu, saya duduk lesehan. Disebelah saya ada seorang perempuan berseragam ungu dan bertopi caping. Dilihat seragamnya, beliau sepertinya petugas kebersihan. Kemudian seorang temannya memberi makanan yang dibungkus daun pisang. Pasti makan siangnya, pikir saya. Saya terus memperhatikannya...
Dengan perlahan, dia buka bungkusan daun pisang itu. Sambil komat-kamit...hmm, mungkin si perempuan membaca doa, dia suapkan makanan yang ada didalam daun pisang itu perlahan kemulutnya. Tidak ada nasi dalam bungkusan daun pisang itu, hanya daun2an yang sepertinya sudah dicacah halus dan mungkin diberi parutan kelapa menyerupai urap. Ya, hanya itu! Kemudian Abi datang membawa 2 nasi bungkus berisi ayam, potongan daging dan sayur tumisan. Entah kenapa saya jadi begitu sentimental...
Hmm...seandainya saya memilih untuk tetap makan disebuah tempat berlabel restoran atau kafe, saya telah melepaskan kesempatan untuk belajar. Terima kasih Abi, saya sudah diberi kesempatan belajar lebih bersyukur dari seorang perempuan disudut sebuah airport...
Saya: Bi, ntar kita having lunch dulu ya sebelon ke airport
Abi: Having lunch diairport aja deh
Sayapun berpikir...hmm, tumben nih si Abi ngajakin lunch di airport. Langsung saya mengingat2 restoran atau kafe mana ya yang enak di airport Juanda. Maklum kita termasuk orang yang jarang sekali menghabiskan puluhan ribu untuk mengganjal perut di airport.
Setibanya di airport
Saya: Bi, kita makan diresto yang dibawah atau atas? Tanya saya bersemangat, maklum sudah laper berat.
Abi: Nggak dua2nya
Saya: Jadi makan dimana dong?
Abi: Ntar Abi beli nasi bungkus dikantinya supir2 taksi itu yah
Sayapun bengong...sambil sedikit cemberut karena impian duduk nyaman disebuah kafepun buyar
Sambil menunggu, saya duduk lesehan. Disebelah saya ada seorang perempuan berseragam ungu dan bertopi caping. Dilihat seragamnya, beliau sepertinya petugas kebersihan. Kemudian seorang temannya memberi makanan yang dibungkus daun pisang. Pasti makan siangnya, pikir saya. Saya terus memperhatikannya...
Dengan perlahan, dia buka bungkusan daun pisang itu. Sambil komat-kamit...hmm, mungkin si perempuan membaca doa, dia suapkan makanan yang ada didalam daun pisang itu perlahan kemulutnya. Tidak ada nasi dalam bungkusan daun pisang itu, hanya daun2an yang sepertinya sudah dicacah halus dan mungkin diberi parutan kelapa menyerupai urap. Ya, hanya itu! Kemudian Abi datang membawa 2 nasi bungkus berisi ayam, potongan daging dan sayur tumisan. Entah kenapa saya jadi begitu sentimental...
Hmm...seandainya saya memilih untuk tetap makan disebuah tempat berlabel restoran atau kafe, saya telah melepaskan kesempatan untuk belajar. Terima kasih Abi, saya sudah diberi kesempatan belajar lebih bersyukur dari seorang perempuan disudut sebuah airport...
Comments
Miii... ada launching buku Ummi di jakarta gak?
mbak, ngintip komen ibu Lili di atas, lagi launching buku apa neeh? kalau acaranya di Jakarta aku ikutan dung....
Emang ada ya restaurant yg enak di airport, Han? Perasaan besar bayar dari rasa deh, 'ga imbang!!
Mending nasi bungkus (irit campur kikir neh ;D )
makasih sudah mengingatkan ya mbk ;)
ditunggu kiriman tiket PP: jkt - lombok -jkt ;)